Parenting abad 21 dari buku Yuval Noah Harari, 21 Lessons for 21st Century dan Homo Deus A Brief History of Tomorrow

“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.”

Ali bin abu thalib

Sering mendengar kutipan di atas? Kalimat yang terdengar amat logis dan sederhana namun ternyata tidak mudah dalam prakteknya. Anak-anak adalah penerus masa depan. Mereka akan hidup dalam dunia yang sangat berbeda dengan dunia orangtua nya saat ini. Apa yang akan kita ajarkan untuk anak sebagai bekalnya di masa depan? Apakah pendidikan di sekolah yang ada saat ini compatible untuk kebutuhan survive di masa depan? Apakah nilai-nilai yang ditanamkan di rumah selama ini bisa menyelamatkannya dari penyakit-penyakit hati dan kejiwaan di masa depan?

Banyak sekali buku yang mengulas tentang prediksi masa depan, namun tidak ada satu pun yang yakin akan kebenarannya. Tidak ada salah nya, buku-buku itu digunakan sebagai upaya mempersiapkan anak untuk masa depannya. Salah satu buku tentang masa depan yang saya baca adalah buku karya Yuval Noah Harari, 21 Lessons for 21st Century dan Homo Deus, A Brief History of Tomorrow. Harari menegaskan bahwa buku nya bukanlah ramalan melainkan prediksi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan dengan melihat kondisi di masa sekarang dan merefleksikan pada kondisi manusia (homo sapiens) berjuta-juta hingga berpuluh tahun lalu.

Dunia yang bergerak lebih cepat dan tidak pasti

Tidak ada yang tahu seperti apa bentuk dunia di tahun 2050, apalagi tahun 2100. Saat ini, lebih sulit memprediksi tentang masa depan akibat teknologi yang terus berkembang pesat dan mulai mengambil alih kontrol atas tubuh, otak dan pikiran manusia. Ini tentunya sangat berbeda dengan zaman di mana orangtua atau nenek kita lahir dan dibesarkan.

Jika dulu sangat sulit mencari informasi sehingga informasi yang diberikan di sekolah sangatlah penting, kini manusia dituntut untuk bisa menyaring derasnya arus informasi, memilih mana yang penting dan tidak, serta membedakan mana yang fakta dan hoaks. Bukan hanya itu, kita harus memiliki kemampuan mengombinasikan segala informasi yang didapat untuk melihat dunia dalam gambaran lebih luas. Informasi yang diberikan di bangku sekolah menjadi tidak begitu penting lagi. Saat ini kita bisa tahu dengan cepat apa yang sedang terjadi di belahan bumi lainnya dan kita bisa menambah wawasan dan skill baru tanpa melalui sekolah.

Teknologi dan artificial intelligence (AI) menghilangkan banyak pekerjaan dan profesi yang dulu nya dikerjakan oleh manusia, sekaligus juga banyak menciptakan jenis pekerjaan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Manusia (lagi-lagi) mengalami sebuah revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akan mengubah dunia lebih cepat.

Bagaimana menyiapkan diri kita dan anak-anak agar bisa bertahan di dunia dengan transformasi besar-besaran dan ketidakpastian yang ekstrem ?

Bayi yang lahir menjelang tahun 2020 hingga di tahun 2020 akan berusia sekitar 30 tahun di 2050 dan sangat mungkin masih akan aktif dan produktif memasuki abad 22. Anak-anak yang berusia remaja saat ini akan memasuki usia sekitar 40 dan 50 tahun. Orang dewasa yang berusia 30-40 tahun saat ini akan berusia 60-70 tahun. Angka harapan hidup di masa depan bisa jadi lebih panjang daripada saat ini. Usia 80 tahun mungkin rasanya seperti 50 tahun berkat bioengineering dan teknologi yang menghubungkan otak manusia ke komputer. Apa yang dipelajari anak-anak hari ini mungkin sudah tidak relevan lagi masa depan.

Namun nyatanya saat ini sistem pendidikan yang ada terfokus pada menjejalkan berbagai macam informasi dan hafalan-hafalan untuk anak. Di masa lalu ini mungkin masih relevan mengingat informasi masih sulit didapatkan ditambah lagi aturan sensor. Namun di abad 21, manusia akan dibanjiri berbagai arus informasi dan aturan sensor pun sudah tidak dapat lagi membendungnya. Kita akan semakin kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan menyesatkan. Segala informasi bisa didapatkan berkat gadget dan koneksi internet, hanya dengan sekali klik, dari yang serius seperti politik dan science, sampai hal-hal yang lucu, gosip dan pornografi bisa didapatkan.

Selain itu, sekolah dan banyak orangtua saat ini juga membekali anak pada berbagai macam skill termasuk skil coding computer hingga bahasa Mandarin. Kita tidak tahu apakah itu nantinya akan berguna untuk tahun 2050 ketika artificial intelligence dapat membuat kode software jauh lebih baik dari manusia dan google translate akan jauh lebih berkembang sehingga memungkinkan manusia bisa berkomunikasi dalam bahasa apapun tanpa harus mempelajarinya.

Lalu apa yang harus diajarkan pada anak untuk membantunya bertahan dan berkembang di tahun 2050 dan bahkan di abad 22? Skill seperti apa yang mereka butuhkan untuk bisa memperoleh pekerjaan, memahami apa yang terjadi di sekitar mereka dan menjadi nakhoda untuk kehidupan mereka di masa depan?

Kemampuan utama yang wajib dimiliki di abad 21 ini adalah kemampuan memahami informasi itu sendiri, membedakan mana yang penting dan tidak penting, serta kemampuan menggabungkan berbagai informasi yang didapat untuk memperluas perspektif tentang dunia.

Para pakar pendidikan berpendapat bahwa sekolah harus mengganti metode pengajaran dengan mengutamakan pada 4 Cs – critical thinking, communication, collaboration, and creativity. Lebih luasnya, sekolah perlu menekankan pendidikan pada keterampilan hidup (life skill) secara umum. Yang paling penting adalah kemampuan menghadapi perubahan, mempelajari sesuatu yang baru, dan menjaga keseimbangan mental dalam situasi yang tidak familiar.

Untuk menghadapi arus 2050, manusia harus bisa lebih dari sekedar menemukan ide dan produk baru, melainkan juga harus selalu bisa menemukan diri nya yang baru. Memulai sesuatu hal yang baru di usia 50 atau bahkan 60 tahun mungkin sudah menjadi hal biasa di era 2050.

Seperti apa kondisi di tahun 2050?

Menurut Harari, di tahun 2048 manusia bukan hanya bermigrasi dari desa ke kota atau pindah antar negara, melainkan juga bermigrasi ke dunia maya (cyberspace). Manusia juga dengan mudahnya berganti-ganti gender dan merasakan pengalaman sensorik yang dihasilkan oleh implan komputer. Di 2048, struktur fisik dan kognitif bisa jadi berpindah ke udara atau ke cloud menjadi kumpulan awan data.

Sejak jaman dahulu kala, pola kehidupan terbagi menjadi dua bagian yang saling melengkapi, yaitu periode belajar diikuti dengan periode bekerja. Bagian pertama hidup manusia diisi oleh pengumpulan berbagai informasi, pengetahuan, pengembangan keterampilan, membangun pandangan tentang dunia dan membangun identitas yang stabil. Sementara bagian kedua hidup manusia, segala yang didapatkan pada bagian kehidupan pertama digunakan untuk menjelajah dunia, bekerja untuk mencari nafkah dan berkontribusi untuk masyarakat. Memang pada bagian kedua ini, manusia bisa terus belajar, namun penambahan kemampuan ini hanyalah perubahan kecil dari kemampuan yang sudah terasah baik di bagian pertama.

Pada pertengahan abad ke-21, perubahan yang begitu cepat ditambah usia hidup lebih lama membuat pola kehidupan yang terbagi menjadi dua saling melengkapi itu terasa usang. Kehidupan akan semakin tidak terpola dan semakin sedikit kontinuitasnya di antara satu periode ke periode berikutnya. Pertanyaan “siapa aku?” menjadi pertanyaan mendesak dan lebih rumit dijawab dibandingkan abad sebelumnya. Situasi seperti ini meningkatkan level stress yang luar biasa. Perubahan selalu mengakibatkan stress dan setelah mencapai usia tertentu, banyak orang yang tidak suka menghadapinya.

Memasuki usia 15 tahun, seorang anak berubah menjadi remaja. Kehidupan berubah. Tubuh berubah, pikiran berkembang dan hubungan dengan orang lain semakin dalam. Segalanya serba berubah dan baru. Di sini manusia sibuk mencari identitasnya. Banyak remaja yang resah, namun pada saat yang sama, pengalaman ini mengasyikan. Pandangan baru terbuka di depan dan dunia menjadi sesuatu untuk ditaklukan.

Ketika memasuki usia 50 inilah manusia biasanya tidak menginginkan perubahan. Banyak orang menyerah untuk menaklukan dunia. Ambisi pun menurun. Mereka lebih menyukai situasi stabil. Manusia sudah berinvestasi keterampilan, identitas, karir dan pandangan tentang dunia pada periode-periode sebelumnya, dan di usia 50 ini manusia cenderung tidak ingin memulainya lagi. Membangun sesuatu yang sangat baru adalah hal yang amat sulit dilakukan di usia ini. Mereka tidak siap merombak ulang struktur identitas dan kepribadian mereka.

Di abad 21, kita tidak bisa merasa nyaman dengan kehidupan stabil. Jika Anda berusaha mempertahankan identitas dan pekerjaan yang stabil, serta pandangan tentang dunia yang tidak berubah, Anda akan beresiko tertinggal karena dunia sudah jauh melesat. Usia hidup kemungkinan akan lebih panjang, jika di usia 50 manusia hanya nyaman di situasi yang stabil, kemungkinan ia akan menghabiskan sisa hidupnya seperti fosil yang tidak paham dengan lingkungan sekitarnya. Jika ingin terus relevan dengan dunia yang sedang berjalan, manusia membutuhkan kemampuan untuk terus belajar sesuatu yang sama sekali baru dan menemukan kembali diri nya yang baru, bahkan di usia 50 tahun sekalipun.

Berkat teknologi kedokteran yang semakin canggih dan obat-obatan yang mendukung, bukan tidak mungkin, suatu hari nanti usia 80 atau 100 tahun rasanya seperti usia 50 tahun saat ini. Immortality menjadi salah satu pencapaian manusia di abad ini. Ada scientist yang bilang, immortality akan dicapai tahun 2100, ada juga yang bilang tahun 2200, ada juga yang bilang lebih cepat dari itu.

Di masa lalu, hanya manusia yang bisa yang bisa melakukan segalanya, namun kini robot mulai menggantikan fungsi manusia dan bahkan semakin bisa melampaui kemampuan manusia. Akan tiba saatnya komputer akan lebih tahu tentang diri manusia daripada manusia sendiri.

Robot memang tidak memiliki kesadaran maupun emosi, namun tidak dibutuhkan emosi untuk menjalankan fungsi-fungsi. Misalnya fungsi supir adalah mengendarai kendaraan. Emosi supir tidak diperlukan untuk membawa manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Belum lagi fungsi-fungsi yang lain.

Strangeness is a new normal

Ketika keanehan menjadi new normal, pengalaman hidup masa lalu tidak dapat dijadikan panduan hidup yang bisa diandalkan. Manusia sebagai individu dan umat manusia secara keseluruhan akan dihadapkan pada sesuatu yang sangat baru, seperti mesin yang super pintar, tubuh yang direkayasa, algoritma yang dapat memanipulasi emosi, bencana alam buatan manusia, dan kebutuhan mengubah profesi setiap dekade.

Untuk dapat bertahan dan berkembang di dunia seperti ini, manusia membutuhkan fleksibilitas mental dan keseimbangan emosi. Manusia perlu rela melepaskan sesuatu yang sudah sangat dikuasai dengan baik dan mempelajari hal-hal yang benar-benar baru. Mengajarkan anak untuk dapat hidup di dunia seperti ini dengan tetap menjaga keseimbangan mental tentu amat sulit dibandingkan menyuruh anak menghafalkan nama-nama pahlawan atau rumus matematika. Kita tidak bisa belajar tentang resilience, bertahan dalam situasi yang sulit serba tidak menentu, hanya dengan membaca buku atau mengikuti kuliah. Guru-guru juga biasanya tidak dapat memenuhi tuntutan abad 21 mengingat mereka adalah produk sistem pendidikan lama.

Revolusi industri telah mewariskan sistem pendidikan untuk memenuhi kebutuhan industri. Sekolah dibangun dengan ruang kelas yang identik di mana setiap kelas berisi bangku dan kursi. Ketika jam pelajaran dibunyikan, sekitar 30 murid dengan usia yang sama memasuki sebuah kelas. Setiap jam, orang dewasa di depan kelas akan berbicara tentang bentuk bumi, sejarah manusia, tubuh manusia, dan pengetahuan lainnya. Kini, sistem pendidikan seperti itu sudah lampau, tetapi kita belum mendapatkan pengganti sistem pendidikan yang layak.

Nasehat yang diberikan Harari untuk mereka yang berusia usia 15 tahun adalah : jangan terlalu bergantung kepada orang dewasa. Mereka mungkin bermaksud baik, mereka hanya tidak mengerti tentang dunia. Di masa lampau, mengikuti cara orang dewasa adalah cara yang relatif aman karena orang dewasa dianggap memahami dunia lebih baik, sementara dunia bergerak lebih pelan. Namun di abad 21 dengan perubahan yang sangat cepat, kamu tidak bisa yakin yang dikatakan orang dewasa apakah itu sebuah kebijaksaan abadi atau sesuatu yang sudah usang.

Lalu harus bergantung pada teknologi kah? Teknologi bukanlah hal buruk. Teknologi sangat membantu banyak. Namun jika kita tidak tahu apa yang diinginkan dalam hidup, teknologi lah yang akan mengontrol dan menentukan arah hidup kita, apalagi jika nanti teknologi semakin memahami manusia dengan baik. Jadikanlah teknologi untuk melayani kita, bukan kita yang melayani teknologi. Coba lihat orang-orang saat ini yang sangat lekat menatap gadget nya di manapun, apakah mereka sedang mengontrol teknologi atau teknologi yang sedang mengontrol mereka?

Untuk bisa berhasil di sini, manusia harus bekerja lebih keras dan memahami operating system nya lebih baik lagi, artinya memahami diri sendiri dan mengetahui apa yang dinginkan dari kehidupan. Ini lebih dari sekedar mengikuti kata hati karena begitu bioteknologi dan machine learning berkembang, sangat mudah memanipulasi emosi dan keinginan manusia. Nasehat “know thyself” ini memang sudah sangat lama dan di abad 21 semakin mendesak dibutuhkan.

Kita hidup dalam masa yang disebut Harari sebagai masa Hacking humans, masa di mana algoritma mengawasi manusia, mengawasi ke mana kamu pergi, apa yang dibeli, siapa yang ditemui. Algoritma akan segera bisa memonitor setiap langkah, nafas dan detak jantung manusia. Semua berdasar kepada big data dan machine learning untuk mengetahui manusia lebih baik lagi dan lagi. Begitu algoritma mencapai ini, mereka bisa mengontrol dan memanipulasi manusia dan kita tidak bisa berbuat banyak. Manusia akan hidup dalam matrix. Jika algoritma bisa memahami apa yang ada di dalam diri manusia lebih baik daripada manusia memahami diri nya sendiri, maka otoritas akan bergeser pada algoritma.

Tentu saja, mungkin ada yang senang menyerahkan otoritas pada algoritma dan mempercayai mereka untuk memutuskan segala nya. Jika menginginkan hal seperti ini, maka rileks dan enjoy saja. Anda tidak perlu melakukan apapun karena algoritma akan mengurus segalanya. Namun jika Anda menginginkan kontrol terhadap eksistensi personal dan masa depan, berlarilah lebih cepat dari algoritma. Terus temukan dirimu, tujuan hidup dan apa yang diinginkan dari kehidupan ini, lagi, lagi dan lagi.

Menurut Harari, sangat mungkin nantinya kelas akan bergeser pada kelas useless society, kelas elite yang menguasai artificial intelligence, serta kelas artifical intelligence itu sendiri. Profesi-profesi lama ditinggalkan, bahkan profesi dokter pun bisa digantikan oleh artificial intelligence. Meskipun begitu akan banyak profesi baru yang akan tercipta. Itulah tugas manusia, menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru yang bisa dilakukan manusia lebih baik dari AI. Satu-satunya cara manusia bisa bertahan yakni dengan terus belajar dan menemukan kembali (reinvent) terus menerus.  

Tidak ada yang tahu dan bisa memprediksi pasti apa yang akan terjadi beberapa puluh tahun lagi dengan tatanan bermasyarakat, kondisi ekonomi dan politik jika manusia hidup berdampingan dengan AI, bahkan terancam eksistensi nya karena AI. Tidak ada yang bisa menghentikan perubahan cepat yang sedang terjadi bahkan politisi dan pemerintah pembuat kebijakan juga tidak mampu menyamakan langkah dengan fenomena ini. Ini menjadi pertanyaan Harari di buku Homo Deus, “apa yang akan terjadi dengan masyarakat, politik dan kehidupan sehari-hari jika robot yang tidak memiliki emosi namun sangat cerdas lebih tahu tentang kita daripada diri kita sendiri ?

Buku tentang masa depan seperti ini menjadi refleksi buat saya sebagai orangtua dalam rangka membantu anak mempersiapkan dirinya untuk kehidupan di masa depan yang bukan lagi bersaing dan berkolaborasi dengan sesama manusia, namun dengan robot dan AI.

Leave a comment